IDNSaham.com, Jakarta 24 Januari 2024 – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan pada Rabu (24/1). Rupiah bahkan menyentuh level Rp 15.700 per dolar AS, yang merupakan level tertinggi sejak November 2023. Ini di perkirakan Suku Bunga The Fed Pengaruhi Rupiah.
Menurut data Bloomberg, rupiah melemah 85 poin (0,54 persen) ke level Rp 15.722 per dolar AS pada pukul 10.48 WIB. Pelemahan rupiah ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari dalam maupun luar negeri.
Sentimen Luar Negeri: Suku Bunga The Fed dan Paket Dukungan Tiongkok
Salah satu faktor yang mempengaruhi rupiah adalah kebijakan suku bunga The Fed, bank sentral AS. Para trader memperkirakan bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga acuan pada level rendah hingga Maret 2024, berdasarkan alat CME Fedwatch.
Hal ini menunjukkan bahwa The Fed masih menunggu data ekonomi AS yang akan dirilis pekan ini, seperti data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal keempat dan data inflasi bulan Desember.
“Diperkirakan data produk domestik bruto (PDB) untuk kuartal keempat yang diumumkan pada hari Kamis akan mengungkapkan adanya penurunan dalam laju pertumbuhan, Sementara itu, pada hari Jumat, data indeks harga PCE yang menjadi acuan inflasi bagi The Fed akan dirilis dan kemungkinan akan mengonfirmasi bahwa inflasi tidak berubah di bulan Desember,” ujar Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam keterangan resminya, seperti dikutip pada Rabu (24/1).
Suku bunga AS yang rendah membuat dolar AS melemah terhadap mata uang lain, termasuk rupiah. Namun, suku bunga AS yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, seperti obligasi 10 tahun, justru menjadi pertanda buruk bagi mata uang Asia, termasuk rupiah.
Pasalnya, suku bunga yang lebih tinggi membuat para investor lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di aset-aset yang lebih aman dan berimbal hasil tinggi, seperti obligasi AS, daripada aset-aset yang berisiko tinggi, seperti saham dan mata uang negara berkembang.
Faktor lain yang mempengaruhi rupiah adalah paket dukungan yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah Tiongkok untuk mendongkrak saham-saham di negara itu. Menurut laporan Bloomberg, paket dukungan tersebut bernilai 2 triliun yuan (USD 278 miliar) dan akan dialokasikan untuk infrastruktur, teknologi, dan konsumsi.
Paket dukungan ini meningkatkan optimisme pasar terhadap perekonomian Tiongkok, yang merupakan mitra dagang utama Indonesia. Dengan adanya paket dukungan ini, diharapkan permintaan komoditas dari Tiongkok akan tetap kuat, sehingga menguntungkan negara-negara pengekspor komoditas, seperti Indonesia.
“Penurunan kondisi ekonomi di Tiongkok telah memberikan dampak signifikan terhadap nilai komoditas selama dua tahun belakangan ini, menyebabkan kekhawatiran di pasar mengenai menurunnya ketertarikan negara tersebut pada logam merah,” ungkap Ibrahim.
Sentimen Dalam Negeri: Cadangan Devisa dan Harga Komoditas
Selain faktor luar negeri, rupiah juga dipengaruhi oleh faktor dalam negeri, seperti perkembangan cadangan devisa Indonesia dan harga komoditas.
Menurut proyeksi Ibrahim, cadangan devisa Indonesia di tahun 2024 akan dipengaruhi oleh laju ekonomi global yang diperkirakan melambat dan nilai komoditas yang kemungkinan akan menurun.
Cadangan devisa Indonesia pada akhir Desember 2023 tercatat sebesar USD 137,1 miliar, naik dari USD 135,9 miliar pada akhir November 2023. Cadangan devisa ini setara dengan pembiayaan 10,1 bulan impor atau 9,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
Menurut Ibrahim, Peningkatan cadangan devisa berperan penting untuk mempertahankan kekuatan mata uang rupiah dalam mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga stabilitas makro dan sistem keuangan domestik.
Sementara itu, harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia, seperti minyak mentah, batu bara, nikel, dan minyak kelapa sawit (CPO), diperkirakan akan mengalami penurunan pada 2024.
Penurunan nilai komoditas ini sesuai dengan penurunan permintaan konsumsi industri dan energi, terutama dari Tiongkok, yang mengalami perlambatan ekonomi.
“Keadaan perekonomian Tiongkok yang sedang mengalami pelemahan juga akan mempengaruhi nilai logam dasar. Hal ini tentu akan berdampak pada harga nikel yang secara umum akan mengalami penurunan. Kondisi yang serupa juga diperkirakan akan terjadi pada nilai minyak kelapa sawit (CPO) yang berpotensi akan menurun di tahun 2024,” kata Ibrahim.
Kondisi Ekonomi Global: AS, Eropa, dan Tiongkok
Kondisi ekonomi global pada 2024 juga dipengaruhi oleh beberapa kinerja negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok. Laju ekonomi Amerika Serikat di tahun 2024 diperkirakan akan mengalami penyesuaian ke bawah, seiring dengan berakhirnya efek stimulus fiskal dan moneter yang diberikan pemerintah dan The Fed untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19.
Namun demikian, kemungkinan resesi di negara itu relatif lebih rendah dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya, berkat kemajuan program vaksinasi dan peningkatan aktivitas konsumsi dan investasi.
Di sisi lain, laju ekonomi Eropa diperkirakan akan lebih baik di tahun 2024 dibandingkan dengan tahun 2023. Hal ini didukung oleh penurunan inflasi yang lebih cepat di tahun sebelumnya dan kondisi ini dapat mendorong kebijakan stimulus moneter oleh European Central Bank di tahun 2024.
ECB diperkirakan akan menurunkan suku bunga deposito menjadi minus 0,6 persen dan memperluas program pembelian aset atau quantitative easing (QE) menjadi 2,8 triliun euro pada 2024. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit dan investasi di kawasan Eropa, yang masih menghadapi tantangan akibat pandemi Covid-19.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2024 diproyeksikan akan melambat menjadi 5,8 persen, dari 6,1 persen pada 2023. Perlambatan ini disebabkan oleh pengetatan kebijakan moneter dan fiskal oleh pemerintah Tiongkok, yang bertujuan untuk mengendalikan utang dan risiko keuangan di negara itu.
Namun, pemerintah Tiongkok juga akan memberikan paket dukungan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor infrastruktur, teknologi, dan konsumsi. Paket dukungan ini diharapkan dapat menjaga permintaan komoditas di negara itu tetap kuat, sehingga menguntungkan negara-negara pengekspor komoditas, seperti Indonesia.
Proyeksi Rupiah Hari Ini: Fluktuatif dan Melemah
Mengingat berbagai faktor yang mempengaruhi rupiah, baik dari dalam maupun luar negeri, Ibrahim memproyeksi bahwa pergerakan rupiah hari ini akan fluktuatif namun ditutup melemah di kisaran Rp 15.610-Rp 15.660 per dolar AS.
Ibrahim menyarankan para pelaku pasar untuk tetap berhati-hati terhadap perkembangan berita dan data ekonomi yang dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah.